spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Kontrak Politik Berujung Petaka! Ini Alasan Lengkap MK Batalkan Pilkada Mahulu

JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) mengambil langkah tegas dengan memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Mahakam Ulu 2024 setelah menemukan adanya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Dalam putusan Nomor 224/PHPU.BUP-XXIII/2025, MK juga mendiskualifikasi Pasangan Calon Nomor Urut 3, Owena Mayang Shari dan Stanislaus Liah, dari kontestasi politik ini. Hal tersebut tertuang dalam amar putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo.

“Memerintahkan Termohon untuk melaksanakan pemungutan suara ulang Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Mahakam Ulu Tahun 2024 dengan tetap menggunakan Daftar Pemilih Tetap (DPT), Daftar Pemilih Tambahan (DPTb), dan Daftar Pemilih Khusus (DPK) yang digunakan dalam pemungutan suara tanggal 27 November 2024, yang diikuti oleh Pasangan Calon Drs. Yohanes Avun, M.Si dan Drs. Y. Juan Jenau; dan Pasangan Calon Novita Bulan, S.E., M.B.A. dan Artya Fathra Marthin, S.E., serta pasangan calon baru yang diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang sebelumnya mengusung Pasangan Calon Nomor Urut 3,” ujar Ketua MK, Suhartoyo.

Baca Juga:   Anggaran Dipangkas, Disparpora Mahulu Tetap Optimalkan Pengembangan Pemuda dan Olahraga

Kontrak Politik Berujung Diskualifikasi

Putusan ini sendiri didasarkan pada temuan bahwa Pasangan Calon Nomor Urut 3 melakukan kontrak politik dengan ketua-ketua RT di berbagai desa di Mahakam Ulu. Seperti yang dijelaskan oleh Wakil Ketua MK, Saldi Isra, kontrak ini berisi janji pemberian dana bagi desa dan program ketahanan keluarga sebagai imbalan atas dukungan dalam pemilihan.

“Pihak Terkait tidak menyangkal dan menyatakan memang ada kontrak politik antara pihaknya dengan ketua-ketua RT yang dibuat atas dasar kesepakatan antara Pasangan Calon Nomor Urut 3 dan ketua RT atau warga Kabupaten Mahakam Ulu dengan syarat bukan anggota TNI/Polri, PNS, atau Pejabat lain yang dilarang oleh Peraturan Perundang-undangan,” kata Hakim Saldi Isra.

Namun, MK menilai bahwa kontrak tersebut bukan sekadar janji kampanye biasa, melainkan perekrutan tim pemenangan secara sistematis.

“Kontrak politik demikian jelas merupakan kontrak untuk keberpihakan karena justru mengarahkan warga untuk berpihak dengan menggunakan struktur pengelola lingkungan masyarakat, in casu ketua-ketua RT,” lanjut Saldi.

Praktik Suap Berkedok Kontrak Politik

Lebih jauh, MK menganggap bahwa kontrak politik ini sejatinya merupakan praktik suap atau “vote buying” yang dilarang dalam pemilu. Pasalnya, dalam kontrak tersebut dijanjikan dana desa sebesar Rp4-8 miliar per kampung per tahun dan Program Ketahanan Keluarga senilai Rp5-10 juta per dasawisma per tahun.

Baca Juga:   Hujan Deras Guyur Long Pahangai, Polsek Imbau Warga Waspadai Kenaikan Debit Sungai Mahakam

“Dalam batas penalaran yang wajar, kontrak politik ‘tidak biasa’ demikian merupakan ‘perjanjian’ antar-pihak yang bersifat privat yang berisi janji untuk memberikan sejumlah uang tersebut harus dimaknai sebagai praktik suap atau vote buying kepada pemilih,” tegas Saldi.

Selain itu, Saldi juga menambahkan bahwa hal ini diperparah karena kontrak politik ini memosisikan para ketua RT sebagai bagian dari tim pemenangan Paslon Nomor Urut 3.

“Disadari atau tidak, Pasangan Calon Nomor Urut 3 telah menjadikan atau memosisikan para Ketua RT sebagai Tim Pemenangan yang bersangkutan,” imbuhnya.

Pilkada Mahulu Harus PSU

Alhasil, atas pelanggaran berat ini, MK memerintahkan PSU yang harus dilakukan dalam waktu maksimal 90 hari sejak putusan diucapkan. Saldi menegaskan,

“Seandainya Mahkamah, misalnya, hanya memerintahkan dilakukan pemungutan suara ulang tanpa mendiskualifikasi yang bersangkutan, dalam batas penalaran yang wajar, dampak kontrak politik atau vote buying dimaksud masih belum akan hilang pengaruhnya terhadap pemilih,” tutur Saldi.

Selain itu, keputusan PSU diambil karena diskualifikasi Paslon Nomor Urut 3 menyebabkan tidak adanya pemenang yang sah. MK menilai tidak adil jika langsung mengangkat pasangan dengan suara terbanyak kedua sebagai pemenang. Oleh karena itu, pemilih diberikan kesempatan untuk memilih ulang, dengan kemungkinan partai pengusung Paslon Nomor Urut 3 mengajukan calon baru.

Baca Juga:   Menggali Pesona Mahulu: Wisata Budaya dan Alam yang Tak Terkalahkan

Saldi menutup putusannya dengan menegaskan bahwa PSU harus tetap berpegang pada asas demokrasi yang jujur dan adil.

“Demi menjamin serta melindungi kemurnian hak konstitusional suara pemilih dan juga guna menjaga prinsip-prinsip pemilu yang demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil,” tambahnya.

Keputusan MK ini menjadi peringatan keras terhadap praktik politik uang dalam pemilu. Dengan PSU yang akan digelar, diharapkan masyarakat Mahakam Ulu dapat memilih pemimpin yang benar-benar berintegritas dan bebas dari kecurangan.

Pewarta : M Adi Fajri
Editor : Nicha R

BERITA POPULER