JAKARTA – Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi, Prof. Dr. Aswanto, yang hadir sebagai ahli dari pihak terkait yakni Paslon 03 Angela Idang Belawan – Suhuk, menyampaikan pandangan hukumnya dalam sidang lanjutan perkara Nomor 327/PHPU.BUP-XXIII/2025 mengenai sengketa Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada Mahakam Ulu. Sidang digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta pada Rabu (2/2/2025).
Dalam keterangannya, Prof. Aswanto menekankan permohonan yang diajukan oleh pihak pemohon tidak memenuhi syarat ambang batas sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU Nomor 10 Tahun 2016.
Ia menjelaskan, untuk daerah dengan jumlah penduduk di bawah 250.000 jiwa seperti Mahulu, selisih suara yang diperbolehkan untuk mengajukan permohonan ke MK maksimal 2 persen.
“Faktanya, berdasarkan keputusan MK, selisih antara pihak terkait dan pihak pemohon itu adalah 11 persen,” ujar Aswanto.
Ia pun menegaskan, secara normatif permohonan tersebut seharusnya tidak dapat diterima. Meskipun Mahkamah sering kali tetap melanjutkan perkara ke pokok materi meskipun ambang batas tak terpenuhi, Prof. Aswanto menilai permohonan pemohon tidak didukung oleh kejadian khusus sebagaimana disyaratkan.
“Kalau ahli mencermati permohonan pemohon, tidak ada kejadian khusus yang bisa dijadikan alasan untuk mengundang pemberlakuan Pasal 1 Ayat 8,” tegasnya.
Ia juga menyinggung soal dalil pemohon terkait kontrak politik. Menurutnya, kontrak tersebut dibuat oleh pasangan calon yang sebelumnya telah didiskualifikasi, bukan oleh Paslon 03.
“Apakah bodoh mereka mengulang lagi apa yang menyebabkan mereka didiskualifikasi?” ujarnya.
Lebih lanjut, ia merujuk pada Putusan MK Nomor 224/2025 halaman 1072, yang menyatakan bahwa janji politik dalam bentuk program, bantuan, atau dana, sepanjang dituangkan dalam visi-misi dan program aksi, bukanlah sebuah pelanggaran.
Menurutnya, janji anggaran kepada RT, kampung, dan desa yang dimuat dalam visi-misi Paslon 03 adalah bentuk mandatory spending sesuai dengan UU Desa, bukan kontrak politik ilegal.
Mengenai tudingan praktik politik uang, Prof. Aswanto menjelaskan bahwa money politic harus dibedakan antara yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dan yang sporadis. Ia menekankan bahwa harus ada bukti konkret mengenai siapa pemberi, siapa penerima, dan apakah hal itu signifikan memengaruhi hasil suara.
“Kalau yang TSM, saya kira kita harus mengakui bahwa banyak putusan MK yang memutuskan diskualifikasi. Tapi terhadap money politic yang sifatnya kasuistik tentu harus kita lihat di mana kejadiannya,” kata Aswanto.
Terakhir, ia menanggapi keberatan pemohon terkait status calon Wakil Bupati dari Paslon 03 yang merupakan anggota DPR. Menurutnya, calon tersebut telah mengundurkan diri sesuai amanat Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Nomor 10 Tahun 2016 saat mendaftar untuk PSU.
Ia menilai Putusan MK 176/PUU-XXI/2023 tentang larangan mundur tidak berlaku surut dan tidak dapat dijadikan dasar untuk mendiskualifikasi calon yang telah mematuhi ketentuan perundang-undangan saat pendaftaran.
“Pasal 47 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi sangat tegas mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi itu tidak berlaku surut,” jelasnya.
Dengan demikian, Prof. Aswanto menyimpulkan bahwa permohonan pemohon tidak memenuhi ambang batas dan tidak terdapat kejadian khusus yang dapat dijadikan dasar untuk mengabaikan ketentuan Pasal 158. Ia menyerahkan penilaian akhir kepada Majelis Hakim namun menekankan pentingnya konsistensi MK dalam menafsirkan norma-norma hukum pemilu.
Pewarta : M Adi Fajri
Editor : Nicha R